KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin,
segala puji bagi Allah SWT yag telah
mencurahkan berbagai kenikmatan
kepada kita yang tidak terhitung jumlahnya, baik itu kenikmatan materi maupun
kenikmatan kesehatan yang selalu ia berikan
kepada kita. Atas berkat dan rahmat Allah SWT sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah FILSAFAT ISLAM dengan materi “ HERMENEUTIK”. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada dosen pengampu, yaitu bapak Suhari
S.Pd.I M.S.I yang telah banyak membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun bagi pembaca makalah ini,
sehingga menjadi lebih baik dan dapat dengan mudah untuk dipahami oleh pembaca
Sambas,
09 juni 2015
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
Salah
satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu
saja, bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk
masalah-masalah yang menyangkut bahasa terlihat sepanjang sejarah filsafat, sudah
sejak permulaannya di Yunani. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa
memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan yang adadalam filsafat
klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat
universal.
Teori
tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari
kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub
ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika.
Sifat
ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam
wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu
tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya
dengan Biblical Studies (Studi
Bible).
1. Apa
pengertian hermeneutik?
2. Bagaimana
pandangan para tokoh mengenai hermeneutik?
3. Bagaimana
Kontribusi Hermeneutik dalam Khazanah Pendidikan Agama Islam?
Makalah
ini ditujukan sebagai bahan diskusi dalam mendefinisikan dan memahami
hermeneutik dalam mata kuliah filsafat islam jurusa tarbiyah prodi PAI semester
dua IAI sultan muhammad syafiuddin sambas.
Istilah hermeneutika
berasal dari kata Yunani; hermencuein, yang artinya diterjemahkan
"menafsirkan", kata bendanya: hermeneia artinya
"tafsiran". Dalam tradisi Yunani kuno
kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate).
Istilah tertua yang
menunjuk pada pengertian ini digunakan pada tahun 1654 dan berkesinambungan
hingga dewasa ini terutama di lingkungan protestanism. (Nashr Hamid Abu
Zaid.2004:4)
Pengertian istilah ini
kemudian meluas dalam berbagai aplikasi modern dan bergeser dari wilayah
disiplin teologis ke wilayah yang jauh lebih luas mencakup umumnya ilmu
humaniora, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra.
Secara garis besar perkembangan ilmu ini menfokuskan pada teori penafsiran teks
sastra. Dengan demikian, Hermeneutika pada saat yang sama merupakan persoalan
yang klasik sekaligus modern.( Nashr Hamid Abu Zaid.2004:4) Dalam bidang
filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan, karena
pada kenyataanya keseluruhan filsafat adalah interpretasi, pembahasan seluruh
isi alam semesta ke dalam bahasa manusia.( E.sumaryono.1999:29)
a. Hermeneutika
Schleiermacher (1768-1834)
Dalam kajian filsafat
hermeneutika, Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (The
father of modern hermeneutics) tersebut karena Schleiermacher telah menjadikan
persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman
yang filosofis untuk mengatasinya.
Untuk memahami
(Verstehen) sebuah teks, Schleiermacher mengemukakan cara melakukan
penafsiran (Auslegung). Menurutnya, sebuah teks dapat dipahami dengan melakukan
penafsiran tata bahasa dan psikologis (grammatical and psychological interpretation).
Penafsiran tata bahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna
istilah bahasa yang digunakan dalam teks, sedangkan penafsiran psikologis
berfungsi untuk mengidentifikasi motif pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya
ketika menulis teks.
Jadi hermeneutika
Schleiermacher mengandaikan tujuannya untuk bisa menangkap kembali kebenaran
dari teks, yang ditetapkan dalam kaitannya dengan maksud penulis aslinya (
Mudjia Raharjo.2008:59).
b. Hermeneutika
William Dilthey (1833-1911)
Menurut Dilthey,
hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu
sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu berubah
menurut modifikasi sejarah. Sejarah bangsa Indonesia, misalnya, tidak munggkin
hanya ditulis sekali untuk selamanya, tetapi akan selalu ditulis kembali oleh
setiap generasi. Bahasa juga tidak pernah lepas dari pasang surutnya sejarah.
Kata-kata atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam,
tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Itu
pula sebabnya mengapa makna kata atau bahkan ungkapan tidak pernah tunggal.
Makna kata muncul, tenggelam, dan berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat
penggunanya.( Mudjia Raharjo.2008:42-43)
Jadi, Berbeda dengan
Schleiermacher, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh
di atas persoalan bahasa dan pengarang tidak memiliki otoritas atas makna teks,
tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.
a. Muhammad
Arkoun
Muhammed Arkoun,
pemikir Liberal ini lahir pada Tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun,
Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di
Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran epistemik Arkoun sangat
terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode historisisme yang
dijadikan landasan analisis Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat
modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis.
Muhammed Arkoun
berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya
masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan
pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal
(free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya,
dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran dan
memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika
masalah-masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim
sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan
menjadi diskursus terbuka.( Adnin Armas.2008:5-6).
Menurutnya pendekatan
historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan
budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua
sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu
kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala
bentuk penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Arkoun dalam
mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori
Hermeneutika.
b. Hasan
Hanafi
Hassan hanafi adalah
Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari
1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota
ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang
ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya
dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana
sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi
peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk
dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.( Luwis ‘Iwad.1989:133).
Hanafi berkesempatan
untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966.
Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas
persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus
merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir
secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya
orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton;
tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar
fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan
penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion. (Hassan
Hanafi.1987:332).
Karya-karyanya antara
Lain, Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama
berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada
di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian
pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog
antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus
membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan
fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat
Islam.
Sampai detik ini, masih
terdapat sebagian kalangan umat Islam yang amat anti terhadap manhaj
interpretasi ini. Ia dianggap sebagai momok menakutkan yang perlu untuk
dibinasakan. Bahkan, bila perlu penafsir yang menggunakan manhaj ini ikut
dibinasakan sekaligus. Darahnya halal. Ia dianggap sebagai kafir dan berbagai
macam stigma negatif lainnya.
Sikap semacam ini,
menurut hemat penulis tidak perlu dilakukan. Jangan kemudian karena manhaj ini
berasal dari barat, lantas dengan sangat mudahnya kita mengatakan bahwa manhaj
ini adalah manhaj iblis. Setiap yang berasal dari barat haram untuk
dimanfaatkan umat Islam. Pandangan seperti ini amatlah naif, tidak dewasa dan
cenderung mempunyai sifat egois berlebih.
Alangkah indahnya jika
kemudian umat Islam membuka diri pada hal-hal baru yang dirasa membawa manfaat
dan kemaslahatan bagi umat Islam secara keseluruhan. Bukankah kita sering
mendengar adagium “Al-Muhafadhotu alal Qadim as-Shalih wal Akhdzu bil Jadid
al-Ashlah”.
Seorang guru Pendidikan
Agama Islam hendaknya memiliki kemampuan pemahaman teks ayat suci dengan
konteks secara professional, sehingga ayat suci al-Qur’an sebagai pedoman hidup
manusia berlaku sepanjang zaman dan dapat menjadi rujukan utama dalam segala
aspek kehidupan.
Menurut Machasin,
seorang guru besar di UIN Sunan Kalijaga, ketakutan atas hermeneutik ini,
disebabkan adanya paranoid berlebihan bahwa ketika metode hermeneutik ini
diaplikasikan dalam interpretasi teks al-Qur’an akan menyebabkan hilangnya
kesakralan kitab ini. Kekhawatiran seperti ini sebenarnya dapat dijawab dengan
mengatakan bahwa hermeneutika sama sekali tidak berkaitan dengan masalah apakah
al-Qur’an itu firman Tuhan atau bukan. Hermeneutika sejatinya hanya ingin
mempertanyakan apakah pemahaman kita tentang al-Qur’an sudah benar atau tidak.
Dengan demikian unsur sakralitas al-Qur’an masih tetap utuh.
Sebagaimana telah
disinggung di atas, Hermeneutik lahir dari rahim mitologi, kemudian berlari ke
bibel, lantas tumbuh menjadi salah satu konsentrasi dalam filsafat. Betapapun
demikian, “membeli” teori tersebut untuk kemudian diterapkan dalam memahami
pesan teks suci al-Qur’an adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan.
Sebab, salah satu problem yang hendak dipecahkan dalam teori ini adalah
bagaimana menafsirkan teks secara kritis, obyektif, dan kontekstual. Teori ini
berusaha membaca sebuah teks keagamaan masa silam dan menghadirkannya kembali
kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda. Untuk
itulah, teori ini sangat layak untuk dikembangkan dalam seni interpretasi teks
suci al-Qur’an.
PENUTUP
Hermeneutika adalah
salah satu seni dalam interpretasi teks. Mengingat cara kerja teori ini yang
berusaha untuk memahami teks secara komprehensif, maka teori ini sangat relevan
untuk penafsiran teks suci al-Qur’an supaya Subtilitas
Intelegendi (ketepatan pemahaman) danSubtilitas
ecsplicandi (ketepatan penjabaran) terhadap pesan teks dapat terjaga
secara utuh.
Upaya merekonstruksi
terhadap corak interpretasi teks al-Qur’an yang literalis-skripturalis dan
statis menjadi sebuah keharusan. Salah satu media untuk mencapainya adalah
dengan melakukan gebrakan metode interpretasi yang tepat agar tercipta
pemahaman keislaman yang fleksibel, kontekstual, tidak statis dan
progresif. Wallahu A’lam.
Makalah filsafat ilsam
yang berjudul hermeneutik semoga dapat memberikan manfaat bagi pembaca dalam
memahami isi al-qur’an dan penafsirannya. Kami menyadari bahwa dalam proses
penyusunan makalah masih belum sempurna seutuhnya, oleh sebab itu kami meminta
saran dan kritikan yang mmbangun dari pembaca guna menyempurnakan makalah ini.
Nashr Hamid Abu
Zaid, isykaliyat al-qiroah wa aliyyat
at-Ta’wil/hermeneutika inklusif, ( Jakarta Selatan : ICIP, 2004),
E.sumaryono, Hermeneutika sebuah metode filsafat,
(Jogjakarta : kanisius, 1999).
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika(Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008)
Adnin Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan
Dilthey terhadap Studi Al-Qurán,Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008.
Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar
al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989)
Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981,
Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987)
http://nasrikurnialloh.blogspot.com/2013/05/pendekatan-hermeneutik-dalam-studi-islam.html
diakses pada tanggal 09 juni 2015 pukul 04.30 wib
http://ikanteri89.blogspot.com/2014/06/makalah-ilmu-filsafat-ilmu-hermeneutika.html
diakses pada tanggal 09 juni 2015 pukul 04.30 wib
http://bocah-ase08.blogspot.com/2010/03/filsafat-hermeneutika.html
diakses pada tanggal 09 juni 2015 pukul 04.30 wib
No comments:
Post a Comment