Tuesday, 22 March 2016

hermeneutik


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yag telah  mencurahkan  berbagai kenikmatan kepada kita yang tidak terhitung  jumlahnya, baik itu kenikmatan materi maupun kenikmatan kesehatan yang selalu ia berikan  kepada kita. Atas berkat dan rahmat Allah SWT sehingga kami dapat menyelesaikan makalah FILSAFAT ISLAM dengan materi “ HERMENEUTIK”. Ucapan terima kasih saya ucapkan  kepada dosen pengampu, yaitu bapak Suhari S.Pd.I M.S.I yang telah banyak membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami mengharapkan kritikan dan saran yang membangun bagi pembaca makalah ini, sehingga menjadi lebih baik dan dapat dengan mudah untuk dipahami oleh pembaca

 

 

Sambas, 09 juni 2015


Pemakalah





BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja, bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-masalah yang menyangkut bahasa terlihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya di Yunani. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan yang adadalam filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat universal.
Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika.
Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical Studies (Studi Bible).
1.      Apa pengertian hermeneutik?
2.      Bagaimana pandangan para tokoh mengenai hermeneutik?
3.      Bagaimana Kontribusi Hermeneutik dalam Khazanah Pendidikan Agama Islam?
Makalah ini ditujukan sebagai bahan diskusi dalam mendefinisikan dan memahami hermeneutik dalam mata kuliah filsafat islam jurusa tarbiyah prodi PAI semester dua IAI sultan muhammad syafiuddin sambas.

Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani;  hermencuein, yang artinya  diterjemahkan "menafsirkan", kata bendanya:  hermeneia artinya "tafsiran". Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). 
Istilah tertua yang menunjuk pada pengertian ini digunakan pada tahun 1654 dan berkesinambungan hingga dewasa ini terutama di lingkungan protestanism. (Nashr Hamid Abu Zaid.2004:4)
Pengertian istilah ini kemudian meluas dalam berbagai aplikasi modern dan bergeser dari wilayah disiplin teologis ke wilayah yang jauh lebih luas mencakup umumnya ilmu humaniora, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra. Secara garis besar perkembangan ilmu ini menfokuskan pada teori penafsiran teks sastra. Dengan demikian, Hermeneutika pada saat yang sama merupakan persoalan yang klasik sekaligus modern.( Nashr Hamid Abu Zaid.2004:4) Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan, karena pada kenyataanya keseluruhan filsafat adalah interpretasi, pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa manusia.( E.sumaryono.1999:29)
a.       Hermeneutika Schleiermacher (1768-1834)
Dalam kajian filsafat hermeneutika, Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (The father of modern hermeneutics) tersebut karena Schleiermacher telah menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya.
Untuk memahami (Verstehen) sebuah teks, Schleiermacher mengemukakan cara melakukan penafsiran (Auslegung). Menurutnya, sebuah teks dapat dipahami dengan melakukan penafsiran tata bahasa dan psikologis (grammatical and psychological interpretation). Penafsiran tata bahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna istilah bahasa yang digunakan dalam teks, sedangkan penafsiran psikologis berfungsi untuk mengidentifikasi motif pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya ketika menulis teks.
Jadi hermeneutika Schleiermacher mengandaikan tujuannya untuk bisa menangkap kembali kebenaran dari teks, yang ditetapkan dalam kaitannya dengan maksud penulis aslinya ( Mudjia Raharjo.2008:59).
b.      Hermeneutika William Dilthey (1833-1911)
Menurut Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sejarah bangsa Indonesia, misalnya, tidak munggkin hanya ditulis sekali untuk selamanya, tetapi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. Bahasa juga tidak pernah lepas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam, tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Itu pula sebabnya mengapa makna kata atau bahkan ungkapan tidak pernah tunggal. Makna kata muncul, tenggelam, dan berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat penggunanya.( Mudjia Raharjo.2008:42-43)
Jadi, Berbeda dengan Schleiermacher, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa dan pengarang tidak memiliki otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.
a.       Muhammad Arkoun
Muhammed Arkoun, pemikir Liberal ini lahir pada Tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dijadikan landasan analisis Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis.
Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka.( Adnin Armas.2008:5-6).
Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala bentuk penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika.
b.      Hasan Hanafi
Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.( Luwis ‘Iwad.1989:133).
Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion. (Hassan Hanafi.1987:332).
Karya-karyanya antara Lain, Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.
Sampai detik ini, masih terdapat sebagian kalangan umat Islam yang amat anti terhadap manhaj interpretasi ini. Ia dianggap sebagai momok menakutkan yang perlu untuk dibinasakan. Bahkan, bila perlu penafsir yang menggunakan manhaj ini ikut dibinasakan sekaligus. Darahnya halal. Ia dianggap sebagai kafir dan berbagai macam stigma negatif lainnya.
Sikap semacam ini, menurut hemat penulis tidak perlu dilakukan. Jangan kemudian karena manhaj ini berasal dari barat, lantas dengan sangat mudahnya kita mengatakan bahwa manhaj ini adalah manhaj iblis. Setiap yang berasal dari barat haram untuk dimanfaatkan umat Islam. Pandangan seperti ini amatlah naif, tidak dewasa dan cenderung mempunyai sifat egois berlebih.
Alangkah indahnya jika kemudian umat Islam membuka diri pada hal-hal baru yang dirasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat Islam secara keseluruhan. Bukankah kita sering mendengar adagium “Al-Muhafadhotu alal Qadim as-Shalih wal Akhdzu bil Jadid al-Ashlah”.
Seorang guru Pendidikan Agama Islam hendaknya memiliki kemampuan pemahaman teks ayat suci dengan konteks secara professional, sehingga ayat suci al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia berlaku sepanjang zaman dan dapat menjadi rujukan utama dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Machasin, seorang guru besar di UIN Sunan Kalijaga, ketakutan atas hermeneutik ini, disebabkan adanya paranoid berlebihan bahwa ketika metode hermeneutik ini diaplikasikan dalam interpretasi teks al-Qur’an akan menyebabkan hilangnya kesakralan kitab ini. Kekhawatiran seperti ini sebenarnya dapat dijawab dengan mengatakan bahwa hermeneutika sama sekali tidak berkaitan dengan masalah apakah al-Qur’an itu firman Tuhan atau bukan. Hermeneutika sejatinya hanya ingin mempertanyakan apakah pemahaman kita tentang al-Qur’an sudah benar atau tidak. Dengan demikian unsur sakralitas al-Qur’an masih tetap utuh.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Hermeneutik lahir dari rahim mitologi, kemudian berlari ke bibel, lantas tumbuh menjadi salah satu konsentrasi dalam filsafat. Betapapun demikian, “membeli” teori tersebut untuk kemudian diterapkan dalam memahami pesan teks suci al-Qur’an adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Sebab, salah satu problem yang hendak dipecahkan dalam teori ini adalah bagaimana menafsirkan teks secara kritis, obyektif, dan kontekstual. Teori ini berusaha membaca sebuah teks keagamaan masa silam dan menghadirkannya kembali kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda. Untuk itulah, teori ini sangat layak untuk dikembangkan dalam seni interpretasi teks suci al-Qur’an.


PENUTUP
Hermeneutika adalah salah satu seni dalam interpretasi teks. Mengingat cara kerja teori ini yang berusaha untuk memahami teks secara komprehensif, maka teori ini sangat relevan untuk penafsiran teks suci al-Qur’an supaya Subtilitas Intelegendi (ketepatan pemahaman) danSubtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) terhadap pesan teks dapat terjaga secara utuh.
Upaya merekonstruksi terhadap corak interpretasi teks al-Qur’an yang literalis-skripturalis dan statis menjadi sebuah keharusan. Salah satu media untuk mencapainya adalah dengan melakukan gebrakan metode interpretasi yang tepat agar tercipta pemahaman keislaman yang fleksibel, kontekstual, tidak statis dan progresif. Wallahu A’lam.
Makalah filsafat ilsam yang berjudul hermeneutik semoga dapat memberikan manfaat bagi pembaca dalam memahami isi al-qur’an dan penafsirannya. Kami menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah masih belum sempurna seutuhnya, oleh sebab itu kami meminta saran dan kritikan yang mmbangun dari pembaca guna menyempurnakan makalah ini.

Nashr Hamid Abu Zaid, isykaliyat al-qiroah wa aliyyat at-Ta’wil/hermeneutika inklusif, ( Jakarta Selatan : ICIP, 2004),
E.sumaryono, Hermeneutika sebuah metode filsafat, (Jogjakarta : kanisius, 1999).
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)
Adnin Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-Qurán,Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008.
Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989)
Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987)
http://bocah-ase08.blogspot.com/2010/03/filsafat-hermeneutika.html diakses pada tanggal 09 juni 2015 pukul 04.30 wib






No comments:

Post a Comment